Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Mata Surveilans

 

"Yang terlihat dan yang tidak terlihat saling berkaitan seperti depan dan belakang sehelai kertas." — Maurice Merleau-Ponty. (Sumber foto: istimewa).

Oleh: Arda Dinata

Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


REFERENSI SANITARIAN"Kita hidup dalam dunia yang memandang kita, dan pada saat yang sama, kita memandang dunia yang hidup dalam diri kita." — Maurice Merleau-Ponty

Ada sesuatu yang meresahkan dalam cara dokter itu menatap layar komputernya ketika aku menyebutkan gejala batuk yang sudah berlangsung dua minggu. Matanya bergerak cepat, tidak pada wajahku, tapi pada deretan angka dan grafik yang berkedip di monitor. Seakan-akan tubuhku telah menjadi sekumpulan data yang perlu dipetakan, dianalisis, dan—mungkin—dilaporkan ke suatu tempat yang tidak kuketahui.

Pandemi telah mengubah cara kita memahami tubuh. Yang tadinya privat kini menjadi publik, yang personal kini politis. Suhu tubuh, yang dulu hanya urusan ibu yang meraba dahi anaknya dengan telapak tangan, kini menjadi angka yang dibaca scanner inframerah di pintu masuk mal, kantor, bahkan tempat ibadah. Batuk, yang dulu mungkin hanya pertanda alergi atau kelelahan, kini membawa beban curiga yang berat.

Michel Foucault pernah menulis tentang "clinical gaze"—tatapan klinis yang mengubah manusia menjadi objek pengetahuan medis. Tapi apa yang kita saksikan hari ini melampaui itu. Ini bukan lagi sekadar tatapan dokter pada pasien, melainkan tatapan sistem pada populasi. Setiap bersin dicatat, setiap demam dipetakan, setiap perjalanan dilacak. Tubuh tidak lagi milik individu, tapi menjadi data point dalam algoritma kesehatan masyarakat.

Di Tiongkok, aplikasi kesehatan tidak hanya memantau suhu tubuh tapi juga aktivitas harian, lokasi yang dikunjungi, bahkan makanan yang dikonsumsi. Kode warna—hijau, kuning, merah—menentukan siapa yang boleh bergerak bebas dan siapa yang harus terkurung. Ini bukan lagi pengobatan, tapi pengendalian. Bukan lagi menyembuhkan yang sakit, tapi mencegah yang sehat untuk berpotensi sakit.

Jorge Luis Borges dalam cerpen "Lotere di Babilonia" menggambarkan sebuah masyarakat di mana kehidupan ditentukan oleh undian yang semakin kompleks hingga mencakup setiap aspek eksistensi manusia. Apakah kita sedang menuju ke sana? Sebuah dunia di mana algoritma kesehatan menentukan siapa yang boleh bekerja, bepergian, atau bahkan bertemu keluarga?

Yang menggelisahkan bukanlah teknologinya itu sendiri. Thermometer digital lebih akurat daripada tangan ibu. Aplikasi pelacak kontak bisa memutus rantai penularan lebih efektif daripada isolasi massal. Tapi ada sesuatu yang hilang dalam terjemahan dari sentuhan manusiawi ke data digital—empati, intuisi, dan yang terpenting, kepercayaan.

Ketika kesehatan menjadi masalah keamanan nasional, tubuh berubah menjadi medan perang. Virus bukan lagi patogen yang perlu diobati, tapi musuh yang harus dikalahkan dengan segala cara. Dan dalam perang, korban jiwa selalu ada—tidak hanya mereka yang meninggal karena penyakit, tapi juga mereka yang kehilangan kebebasan, privasi, dan kemanusiaan mereka dalam proses "penyembuhan" kolektif.

Susan Sontag pernah memperingatkan tentang bahaya metafora perang dalam kesehatan. Ketika kita berbicara tentang "memerangi" kanker atau "melawan" virus, kita mengubah penyakit menjadi musuh moral. Dan terhadap musuh moral, segala cara dianggap halal. Termasuk mengubah setiap warga negara menjadi mata-mata potensial, setiap ponsel menjadi alat surveillance, dan setiap gejala menjadi tanda bahaya yang harus dilaporkan.

Tapi mungkin yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana kita mulai menginternalisasi pandangan ini. Kita tidak hanya diawasi, tapi mulai mengawasi diri sendiri dan orang lain. Melihat orang batuk di kereta, kita tidak lagi merasa simpati tapi kecurigaan. Mendengar tetangga bersin, kita tidak menawarkan tisu tapi mencatat dan melaporkan. Kita menjadi agen dari sistem surveilans yang sama yang mengawasi kita.

Ada paradoks dalam semua ini. Semakin canggih sistem surveilans kesehatan kita, semakin tidak sehat hubungan sosial kita. Semakin akurat data yang kita kumpulkan tentang tubuh, semakin kita kehilangan pemahaman tentang jiwa. Semakin efektif kita mencegah penularan penyakit fisik, semakin mudah kita menularkan penyakit mental berupa paranoia, kecurigaan, dan isolasi.

Giorgio Agamben menyebut fenomena ini sebagai "biopolitics"—kekuasaan yang mengatur kehidupan biologis untuk tujuan politik. Tapi apa yang terjadi ketika biopolitics ini tidak lagi terlihat sebagai kekuasaan eksternal yang menindas, melainkan sebagai kebutuhan internal yang kita pilih sendiri? Ketika kita dengan sukarela menginstal aplikasi yang melacak setiap gerakan kita, mengizinkan kamera mengenali wajah kita, dan memberikan data kesehatan kita kepada algoritma yang tidak kita pahami?

"Yang terlihat dan yang tidak terlihat saling berkaitan seperti depan dan belakang sehelai kertas." — Maurice Merleau-Ponty

Mungkin pertanyaannya bukan apakah kita harus menolak atau menerima surveilans kesehatan, tapi bagaimana kita bisa mempertahankan kemanusiaan kita di tengah-tengahnya. Bagaimana kita bisa tetap melihat mata di balik data, jiwa di balik statistik, dan cerita di balik angka?

Wallahu a'lam...


Daftar Pustaka

Agamben, G. (1998). Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Stanford University Press.

Borges, J. L. (1962). Labyrinths: Selected Stories and Other Writings. New Directions Publishing.

Foucault, M. (1994). The Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical Perception. Vintage Books.

Merleau-Ponty, M. (1968). The Visible and the Invisible. Northwestern University Press.

Sontag, S. (1989). Illness as Metaphor and AIDS and Its Metaphors. Anchor Books.

***

Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata

Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Jangan Lupa Tulis Komentar Anda dan Usulan Tema Artikel Yang Anda Inginkan di Kolom Komentar di Bawah Ini Ya! 👇

Lebih baru Lebih lama