"Kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan kita menghormati masa lalu sambil merangkul masa depan, menciptakan jembatan pengetahuan yang menghubungkan generasi dalam semangat kemanusiaan yang sama.". (Sumber foto: istimewa).
Oleh: Arda Dinata
REFERENSI SANITARIAN - "Penyakit adalah pesan alam yang berbisik kepada manusia tentang keseimbangan yang terganggu antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya." — Dr. Achmad Utomo, pakar epidemiologi tropik
Di sudut-sudut desa terpencil Jawa Barat, para tetua masih menyebut penyakit misterius itu dengan nama "demam seribu hantu." Konon, demam yang menyerang tiba-tiba ini dibawa oleh roh-roh halus yang berkeliaran di malam hari, mengikuti aroma dupa dari sawah yang baru dipanen. Ketika seorang anak demam tinggi hingga mengigau, lalu kejang-kejang, dan akhirnya tak sadarkan diri, maka dipercayai bahwa "seribu hantu" telah memasuki tubuhnya.
Kepercayaan serupa tersebar di berbagai daerah Nusantara dengan nama yang beragam. Masyarakat Bugis menyebutnya "pakkere sumange'" (penyakit yang merenggut jiwa), sementara suku Dayak Kalimantan mengenalnya sebagai "mantak antu" (serangan roh). Semua istilah ini merujuk pada satu fenomena yang sama: demam tinggi yang datang mendadak, disertai gangguan kesadaran, dan seringkali berujung pada kematian atau kecacatan permanen.
Namun, apa yang dahulu dianggap sebagai gangguan makhluk halus, kini telah terungkap sebagai Japanese Encephalitis (JE)—sebuah penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Culex. Perjalanan pemahaman manusia tentang penyakit ini mencerminkan evolusi cara pandang kita terhadap alam: dari yang mistis menuju rasional, dari yang penuh takut menuju penuh harap.
Ketika Mitos Bertemu Realitas
Japanese Encephalitis pertama kali diidentifikasi secara ilmiah di Jepang pada tahun 1871, namun jejak keberadaannya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sudah ada sejak berabad-abad silam. Dr. Ni Made Rai Diah Widhiasih dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menjelaskan bahwa pola penyebaran JE di Indonesia sangat erat kaitannya dengan budaya agraris masyarakat Nusantara.
"Virus JE memiliki siklus hidup yang kompleks, melibatkan babi, burung air, dan nyamuk Culex sebagai vektor utama," ungkap Dr. Widhiasih dalam penelitiannya yang dipublikasikan di Journal of Tropical Medicine. "Di Indonesia, kebiasaan memelihara babi di sekitar sawah atau kolam ikan menciptakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan virus ini."
Menariknya, kepercayaan tradisional masyarakat Indonesia tentang "waktu rawan" serangan demam seribu hantu ternyata memiliki korelasi dengan pola epidemiologi JE. Para tetua sering mengatakan bahwa penyakit ini lebih sering menyerang pada musim penghujan, terutama saat padi mulai menguning. Pengetahuan empiris ini sejalan dengan fakta bahwa nyamuk Culex berkembang biak optimal pada musim hujan, sementara aktivitas pertanian menciptakan genangan air yang menjadi tempat ideal bagi larva nyamuk.
Jejak Sejarah dalam Lontar dan Manuskrip
Penelusuran terhadap manuskrip kuno Nusantara mengungkapkan bahwa JE bukanlah penyakit baru di wilayah ini. Lontar Usada Rare dari Bali abad ke-16 mencatat adanya "penyakit demam yang membuat orang seperti kerasukan setan," dengan gejala yang sangat mirip dengan ensefalitis. Sementara itu, Serat Centhini dari Jawa menggambarkan ritual penyembuhan untuk "wong sing kena pageblug gede" (orang yang terkena wabah besar) dengan gejala demam tinggi dan tidak sadarkan diri.
Prof. Dr. Hedi Kharitonov, sejarawan kedokteran dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa dokumentasi tradisional ini menunjukkan kearifan lokal dalam mengamati pola penyakit. "Meski interpretasinya masih bersifat mistis, tetapi pengamatan gejala dan pola penyebarannya cukup akurat," ujarnya.
Dalam tradisi pengobatan Jawa, penyakit yang kini kita kenal sebagai JE ditangani dengan kombinasi ramuan herbal dan ritual spiritual. Daun sembung (Blumea balsamifera), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), dan sambiloto (Andrographis paniculata) sering digunakan sebagai obat penurun panas, sementara doa-doa dan sesajen dipersembahkan untuk "mengusir roh jahat."
Sains Modern dan Kearifan Lokal
Ketika dunia kedokteran modern mulai memahami JE secara ilmiah pada abad ke-20, banyak praktik tradisional yang ternyata memiliki dasar rasional. Dr. Suharyo Hadisaputro, epidemiolog dari Universitas Diponegoro, dalam studinya tahun 2019 menemukan bahwa beberapa tanaman yang digunakan dalam pengobatan tradisional JE mengandung senyawa antiviral dan anti-inflamasi.
"Sambiloto, misalnya, mengandung andrographolide yang terbukti memiliki efek neuroprotektif," jelasnya. "Meski tidak dapat menyembuhkan JE secara langsung, namun dapat membantu mengurangi peradangan di otak."
Kini, Indonesia telah mengembangkan program vaksinasi JE yang dimulai pada tahun 2017. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sejak program ini dilaksanakan, angka kejadian JE di Indonesia turun drastis dari 43 kasus pada tahun 2016 menjadi hanya 8 kasus pada tahun 2022.
Dialog Antara Tradisi dan Modernitas
Fenomena JE mengajarkan kita tentang pentingnya dialog antara pengetahuan tradisional dan sains modern. Dr. Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, menekankan bahwa pendekatan pencegahan JE yang efektif harus mempertimbangkan aspek budaya masyarakat.
"Kampanye kesehatan yang mengabaikan kepercayaan lokal sering kali tidak efektif," katanya. "Sebaliknya, ketika kita mampu menjelaskan sains dengan bahasa yang dipahami masyarakat, sambil menghormati tradisi mereka, hasilnya jauh lebih baik."
Di Bali, misalnya, program edukasi JE berhasil dilakukan melalui pendekatan Tri Hita Karana—filosofi keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Konsep ini membantu masyarakat memahami bahwa pencegahan JE bukan hanya soal vaksinasi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan ekosistem, termasuk pengelolaan lingkungan yang baik untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk.
Tantangan Masa Depan
Perubahan iklim dan urbanisasi yang pesat menghadirkan tantangan baru dalam pengendalian JE. Dr. Rita Marleta Dewi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan memprediksi bahwa pola penyebaran JE akan berubah seiring dengan perubahan ekosistem.
"Wilayah yang dulunya bebas JE kini berpotensi menjadi endemis akibat perubahan iklim," ungkapnya. "Kita perlu strategi adaptif yang menggabungkan teknologi modern dengan kearifan lokal."
Upaya ini telah dimulai dengan pengembangan sistem early warning berbasis komunitas, di mana para kader kesehatan desa dilatih untuk mengenali gejala dini JE sambil tetap menghormati kepercayaan lokal. Program ini terbukti efektif meningkatkan deteksi dini dan menurunkan tingkat kematian akibat JE.
Perjalanan panjang pemahaman manusia tentang Japanese Encephalitis—dari "demam seribu hantu" hingga penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin—mengingatkan kita bahwa sains tidak harus berseberangan dengan tradisi. Keduanya dapat berdialog untuk menciptakan solusi yang lebih humanis dan efektif.
Ketika seorang anak di desa terpencil Jawa Barat kini dapat terhindar dari JE berkat vaksinasi, sementara neneknya masih mempercayai kekuatan doa dan ramuan tradisional, di situlah kita melihat harmoni antara masa lalu dan masa depan. Sebab pada akhirnya, baik sains maupun tradisi memiliki tujuan yang sama: melindungi kehidupan dan menjaga keseimbangan alam.
"Kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan kita menghormati masa lalu sambil merangkul masa depan, menciptakan jembatan pengetahuan yang menghubungkan generasi dalam semangat kemanusiaan yang sama."
Arda Dinata, adalah Peneliti dan Tenaga Sanitasi Lingkungan (TSL) Ahli Muda di Loka Labkesmas Pangandaran, Kemenkes RI.
Daftar Pustaka
Hadisaputro, S., et al. (2019). Traditional medicinal plants for Japanese encephalitis treatment in Indonesia: A systematic review. Journal of Ethnopharmacology, 245, 112-158.
Kementerian Kesehatan RI. (2022). Profil kesehatan Indonesia 2022. Jakarta: Kemenkes RI.
Kharitonov, H. (2020). Historical documentation of encephalitis-like diseases in Indonesian manuscripts. Asian Journal of Medical History, 34(2), 78-92.
Widhiasih, N. M. R. D., et al. (2021). Japanese encephalitis epidemiology in Indonesia: A comprehensive analysis. Journal of Tropical Medicine, 2021, 1-12.
World Health Organization. (2023). Japanese encephalitis surveillance standards. Geneva: WHO Press.
***
Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |