Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Sampah Digital Kita

"Dulu kita bertanya: apakah plastik akan mengubur kita? Sekarang kita harus bertanya: apakah data digital kita akan memanggang kita lebih dulu?". (Sumber foto: istimewa).

Oleh: Arda Dinata

REFERENSI SANITARIAN"Di era digital, kita menciptakan lebih banyak sampah di cloud daripada yang kita buang di sungai. Bedanya, yang satu tak terlihat mata, yang satu lagi pura-pura tak terlihat."

Bayangkan sebuah rumah. Rumah virtual. Indah sekali tampilannya di layar kaca. Bersih. Tak ada debu. Tak ada sampah. Tapi coba buka pintu belakangnya.

Astaga.

Segunung sampah digital menggunung. Server-server panas. Data-data usang. Jejak karbon mengepul ke angkasa. Tak ada yang peduli.

Kita terlalu sibuk berswafoto dengan background rumah virtual kita yang "ramah lingkungan".

Ironis memang. Di saat kita berteriak-teriak soal krisis iklim, pemanasan global, dan sampah plastik, kita justru asik menciptakan 'polusi digital' yang tak kalah berbahayanya.

Satu email yang kita kirim melepaskan 4 gram CO2 ke atmosfer. Bayangkan, berapa puluh—atau bahkan ratusan—email yang kita kirim setiap hari?

Menurut laporan The Shift Project tahun 2023, jejak karbon industri digital global kini menyumbang 3,7% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Angka ini diproyeksikan meningkat dua kali lipat pada 2030.

Tapi siapa yang peduli? Toh kita sibuk dengan tagar #SaveEarth di media sosial.

Saya teringat sebuah pertunjukan wayang modern yang pernah saya tonton. Sang dalang memainkan wayang-wayang berbentuk ponsel pintar dan komputer tablet. Para wayang itu bertengkar soal siapa yang lebih hijau, lebih ramah lingkungan.

"Aku dibikin dari material daur ulang!" teriak si ponsel.

"Aku hemat energi!" balas si tablet.

Sementara di belakang panggung, asap mengepul dari genset yang menyalakan seluruh pertunjukan.

Begitulah kita. Aktivis lingkungan digital. Berjuang melawan pemanasan global dari balik layar ponsel yang diproduksi dengan merusak lingkungan. Mengirim pesan-pesan cinta bumi melalui data center yang menelan energi sebesar kota kecil.

Kita tak ubahnya seperti aktor-aktor dalam sinetron murahan. Berpura-pura peduli, padahal naskahnya sudah ditulis oleh konsumerisme.

Dulu, saat saya kecil, ibu saya selalu berkata: "Matikan lampu kalau tidak dipakai." Sekarang, pesan itu perlu diterjemahkan: "Hapus email yang tidak perlu. Kurangi streaming video. Matikan notifikasi aplikasi."

Tapi tentu saja, pesan-pesan itu tidak seksi. Tidak menghasilkan like dan retweet.

Di Bandung, sebuah penelitian dari Institut Teknologi Bandung menunjukkan bahwa penggunaan data center lokal menyumbang hampir 1,2% dari total konsumsi listrik kota. Angka yang tampak kecil, namun signifikan mengingat jumlah data center terus bertambah.

Layaknya opera sabun, kita terbuai dalam ilusi bahwa "cloud" itu bersih seperti awan di langit. Padahal, di baliknya ada ribuan server yang berdenging 24 jam sehari, memompa panas dan karbon.

Saya sendiri pernah mengalami. Suatu hari, hard disk eksternal saya rusak. Data 10 tahun hilang. Foto-foto, dokumen, video—semuanya lenyap. Saya panik, lalu membeli hard disk baru dan mulai mengunduh ulang semua data dari "cloud".

Tanpa sadar, saya telah menyumbang emisi karbon yang tidak sedikit.

Seperti dalam film-film dystopian, kita sedang menuju masa depan di mana bumi menjadi panas bukan hanya karena industri konvensional, tapi juga karena kecanduan digital kita.

Menurut jurnal Nature, jika industri digital adalah sebuah negara, maka ia akan menjadi negara dengan emisi karbon terbesar ke-3 di dunia, di bawah China dan Amerika Serikat.

Tapi sekali lagi, siapa yang peduli? Toh kita terlalu sibuk scrolling timeline untuk membaca berita tentang aktivis lingkungan yang ditangkap karena memprotes pembukaan hutan.

Di sirkus kehidupan modern, kita adalah badut yang tertawa pada lelucon yang ditujukan pada diri kita sendiri.

Kita prihatin dengan nasib beruang kutub yang habitatnya mencair, namun tak segan menghabiskan berjam-jam menonton video kucing lucu yang disimpan di server-server raksasa pemakan energi.

Tapi tunggu dulu. Apakah ini berarti kita harus meninggalkan teknologi digital? Tentu tidak. Teknologi digital, seperti pisau, bisa menjadi alat yang berguna atau senjata yang berbahaya—tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Yang perlu kita lakukan adalah membangun kesadaran digital yang ramah lingkungan. Mulai dari hal-hal kecil: membersihkan email secara berkala, mengurangi streaming video berkualitas tinggi yang tidak perlu, atau mematikan perangkat ketika tidak digunakan.

Seperti kata pepatah: "Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit." Atau dalam konteks ini: "Sedikit-sedikit, lama-lama mengurangi emisi."

Pada akhirnya, kita semua adalah aktor dalam drama besar bernama "Menyelamatkan Bumi". Pertanyaannya: peran apa yang ingin kita mainkan? Pahlawan yang benar-benar bertindak? Atau hanya figuran yang berteriak-teriak tanpa aksi nyata?

Jika kita terus seperti ini—hanya peduli di media sosial tapi abai dalam tindakan nyata—maka endingnya sudah bisa ditebak. Dan percayalah, itu bukan happy ending.

Mari kita mulai dengan mengakui bahwa kita, para pengguna teknologi digital, juga bertanggung jawab atas kesehatan lingkungan. Bukan hanya mereka yang membuang sampah plastik ke laut atau membakar hutan.

Karena pada akhirnya, baik sampah fisik maupun sampah digital, keduanya sama-sama membuat bumi kita semakin sesak untuk bernafas.

"Dulu kita bertanya: apakah plastik akan mengubur kita? Sekarang kita harus bertanya: apakah data digital kita akan memanggang kita lebih dulu?"

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

***

Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata

Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Jangan Lupa Tulis Komentar Anda dan Usulan Tema Artikel Yang Anda Inginkan di Kolom Komentar di Bawah Ini Ya! 👇

Lebih baru Lebih lama