Kebenaran sering bersembunyi di tempat-tempat yang kita anggap hina. Lalat yang kita usir setiap hari ternyata membawa pesan keadilan yang tak terbantahkan. Mungkin ini pengingat bahwa dalam pencarian kebenaran, kita harus rendah hati untuk belajar dari segala sumber—bahkan dari makhluk paling sederhana sekalipun. (Sumber foto: istimewa).
Oleh: Arda Dinata
REFERENSI SANITARIAN - "Lalat bukan sekadar pengganggu. Mereka adalah saksi biologis yang tak bisa berbohong, pencatat waktu alamiah yang telah membantu mengungkap kebenaran selama ribuan tahun. Dalam diam, mereka bercerita tentang kematian dengan kejujuran yang tak dimiliki manusia." — Dr. Marcel Leclercq, Perintis Entomologi Forensik Modern
Sebuah terobosan revolusioner dalam dunia entomologi forensik tengah dikembangkan oleh tim peneliti kolaboratif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) bernama "DigiLarva" mampu mengidentifikasi spesies lalat dan memprediksi interval post-mortem (waktu kematian) dengan akurasi mencapai 94,7%—jauh melampaui metode konvensional yang hanya mencapai 76,3%. Inovasi ini berpotensi mengubah secara fundamental prosedur investigasi kematian di Indonesia, yang selama ini terkendala oleh keterbatasan ahli entomologi forensik dan waktu identifikasi yang panjang.
Sejarah Panjang
Penggunaan lalat sebagai alat bantu investigasi kematian memiliki sejarah panjang. Catatan pertama penggunaan entomologi forensik tercatat dalam literatur Tiongkok kuno dari abad ke-13, dalam buku "The Washing Away of Wrongs" karya Song Ci. Dr. Siti Rahmah, entomolog forensik dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa di Indonesia, pemanfaatan lalat dalam investigasi kematian baru mulai sistematis pada awal tahun 2000-an.
"Indonesia memiliki keanekaragaman spesies lalat yang luar biasa karena kondisi geografis dan iklim tropisnya," ujar Dr. Rahmah dalam seminar daring "Perkembangan Entomologi Forensik di Indonesia" pada Maret 2025. "Sayangnya, ini juga menjadi tantangan karena kompleksitas identifikasi yang tinggi."
Data Bareskrim Polri menunjukkan bahwa hanya 23% kasus kematian tidak wajar di Indonesia yang menggunakan analisa entomologi forensik sebagai bagian dari investigasi—jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia (67%) dan Thailand (58%). Dr. Indra Prasetya, Kepala Laboratorium Forensik Bareskrim Polri, mengungkapkan faktor utama rendahnya angka ini adalah keterbatasan ahli dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk identifikasi spesies lalat secara konvensional.
"Untuk hasil akurat, kita butuh entomolog forensik berpengalaman, dan di Indonesia jumlahnya tidak sampai 20 orang," ujarnya.
Revolusi Digital
Proyek DigiLarva dimulai tahun 2023 sebagai kolaborasi lintas disiplin antara Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, Fakultas Kedokteran UGM, dan Pusat Penelitian Biologi LIPI. Dr. Arif Hidayat, peneliti utama proyek dari ITB, menjelaskan bahwa sistem ini mengintegrasikan deep learning dengan database komprehensif morfologi dan genetik 127 spesies lalat yang umum ditemukan di Indonesia.
"DigiLarva menggunakan convolutional neural network yang dilatih dengan lebih dari 50.000 gambar lalat berbagai tahap perkembangan. Sistem ini mampu mengidentifikasi spesies dan tahap perkembangan lalat hanya dari foto digital," jelasnya dalam wawancara dengan Kompas di laboratoriumnya di Bandung.
Sistem tersebut kemudian menggabungkan data identifikasi dengan algoritma prediktif berbasis machine learning yang memperhitungkan variabel lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan lokasi geografis untuk menentukan interval post-mortem dengan presisi tinggi.
Hasil uji coba di lima lokasi berbeda di Indonesia (Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua) menunjukkan hasil yang menjanjikan. Dari 78 kasus simulasi, DigiLarva menunjukkan akurasi 94,7% dalam penentuan interval post-mortem dengan margin error kurang dari 3 jam—jauh lebih akurat dibanding metode konvensional yang memiliki margin error 8-12 jam.
Prosedur Baru
Implementasi DigiLarva membawa perubahan signifikan pada protokol pengambilan, pengepakan, dan pengiriman sampel lalat. Dr. Widya Asmara, forensik entomolog dari UGM yang terlibat dalam pengembangan protokol baru, menjelaskan prosedur yang direkomendasikan:
"Pengambilan sampel harus mencakup semua tahap perkembangan lalat yang ditemukan—telur, larva, pupa, dan dewasa. Yang terpenting, dokumentasi digital berkualitas tinggi harus dilakukan sebelum pengawetan sampel."
Protokol pengambilan sampel berbasis DigiLarva meliputi beberapa tahapan krusial:
- Dokumentasi digital in situ: Pengambilan foto beresolusi tinggi (minimal 12 MP) dari berbagai sudut dengan skala pengukuran terlihat. Penggunaan lensa makro atau perangkat mikroskop digital portabel sangat dianjurkan.
- Pengambilan sampel hidup: Minimal 20 spesimen dari setiap tahap perkembangan diambil menggunakan pinset entomologi atau kuas lembut dan ditempatkan dalam wadah berventilasi dengan substrat dari lokasi pengambilan.
- Pengawetan sampel: Sebagian sampel diawetkan menggunakan etanol 70% untuk larva dan lalat dewasa, sementara telur dan sebagian larva dipelihara untuk perkembangan lebih lanjut.
- Pencatatan data lingkungan: Pengukuran suhu mikro di lokasi penemuan spesimen, kelembaban relatif, kondisi pencahayaan, dan GPS koordinat.
- Transmisi data digital: Mengunggah foto dan data lingkungan ke platform DigiLarva untuk analisis awal sebelum sampel fisik tiba di laboratorium.
Dr. Asmara menekankan bahwa protokol baru ini memungkinkan "diagnosa jarak jauh" dalam hitungan jam, tidak seperti prosedur lama yang membutuhkan waktu hingga beberapa hari.
"Keunggulan sistem ini adalah kemampuannya memberikan hasil preliminer bahkan sebelum sampel fisik mencapai laboratorium. Ini sangat berharga dalam kasus di daerah terpencil," tambahnya.
Implikasi Luas
Menurut studi dampak yang dilakukan oleh Tim Riset Kebijakan Publik Universitas Indonesia, implementasi sistem DigiLarva secara nasional berpotensi meningkatkan rasio penyelesaian kasus kematian tidak wajar hingga 31,5%. Selain itu, estimasi penghematan waktu investigasi mencapai rata-rata 47 jam per kasus.
Dr. Faisal Rahman, kriminolog dari Universitas Indonesia, menyoroti implikasi sistem ini terhadap proses peradilan di Indonesia. "Bukti entomologi forensik sering kali menjadi bukti ilmiah yang kuat dalam persidangan. Dengan teknologi ini, kita bisa memiliki bukti yang lebih akurat dan tepat waktu," ujarnya.
Data dari Direktorat Jenderal Peradilan Umum Mahkamah Agung menunjukkan bahwa sejak 2020, penggunaan bukti entomologi forensik dalam persidangan pidana meningkat 17% per tahun. Namun, 42% di antaranya menghadapi tantangan validitas karena keterbatasan metode konvensional.
"DigiLarva dapat secara signifikan mengurangi margin error dan meningkatkan defensibilitas bukti di pengadilan," tambah Dr. Rahman.
Tantangan Implementasi
Meskipun menjanjikan, implementasi DigiLarva menghadapi beberapa tantangan. Dr. Bambang Sulistyo, ahli kebijakan kesehatan dari Universitas Diponegoro, mengidentifikasi tiga hambatan utama: infrastruktur digital, pelatihan personel, dan kerangka regulasi.
"Banyak daerah di Indonesia masih menghadapi keterbatasan akses internet yang stabil, padahal sistem ini membutuhkan konektivitas untuk transmisi data digital," jelasnya. Tantangan lain adalah kebutuhan pelatihan personel di seluruh Indonesia, yang mencakup 34 provinsi dengan kondisi geografis beragam.
Kementerian Riset dan Teknologi bersama Kepolisian Republik Indonesia telah mengalokasikan dana Rp 45 miliar untuk program implementasi bertahap selama 2025-2027. Tahap pertama akan dimulai di lima kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Denpasar) pada September 2025.
Standardisasi Global
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan International Criminal Police Organization (INTERPOL) tengah mengembangkan standar global untuk entomologi forensik digital. Dr. Hidayat dari ITB mengungkapkan bahwa DigiLarva telah diundang untuk berpartisipasi dalam "Global Digital Forensic Entomology Standardization Project" yang diinisiasi kedua lembaga tersebut.
"Indonesia memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada standar global ini. Keanekaragaman spesies lalat di Indonesia menjadikan database DigiLarva salah satu yang terlengkap di dunia," ujarnya dengan bangga.
Pada Konferensi Internasional Entomologi Forensik di Geneva, Swiss, Februari lalu, sistem DigiLarva mendapat pengakuan sebagai "salah satu inovasi paling menjanjikan dalam entomologi forensik dekade ini" menurut Dr. Jason Richards, Ketua Asosiasi Entomologi Forensik Internasional.
INTERPOL, dalam laporan tahunannya "Innovations in Forensic Science 2024", merekomendasikan adopsi teknologi sejenis DigiLarva untuk meningkatkan standardisasi investigasi kematian lintas negara.
Edukasi Publik
Menariknya, proyek DigiLarva juga memiliki komponen edukasi publik yang signifikan. Tim peneliti telah meluncurkan platform "ForensikKita" yang memberikan akses informasi entomologi forensik dalam bahasa yang mudah dipahami untuk masyarakat umum.
"Kami ingin menghilangkan stigma dan meningkatkan pemahaman publik tentang pentingnya entomologi forensik," ujar Dr. Siti Rahmah dari UI. "Selama ini, lalat selalu dipandang negatif, padahal mereka memainkan peran vital dalam investigasi kematian dan ekosistem secara keseluruhan."
Sejak diluncurkan pada Januari 2025, platform edukatif ini telah diakses oleh lebih dari 120.000 pengunjung unik. Survey terhadap 5.000 pengguna menunjukkan peningkatan pemahaman tentang entomologi forensik sebesar 62% setelah mengakses platform ini.
Departemen Pendidikan Nasional juga berencana mengintegrasikan modul entomologi forensik dasar ke dalam kurikulum sains sekolah menengah atas mulai tahun ajaran 2026/2027. "Ini bukan hanya tentang forensik, tetapi juga tentang menumbuhkan apresiasi terhadap biodiversitas dan metodologi ilmiah," kata Dr. Rahmah.
Prospek entomologi forensik digital di Indonesia terlihat cerah. Dengan dukungan pemerintah, kolaborasi akademis yang kuat, dan penerimaan publik yang meningkat, DigiLarva dan sistem serupa dapat mengubah lanskap investigasi kematian di tanah air.
Dr. Indra dari Bareskrim Polri menutup wawancara dengan optimisme yang terukur: "Teknologi ini memberi kita kemampuan untuk 'mendengar' apa yang diceritakan lalat tentang kematian dengan lebih jelas dan cepat. Ini adalah langkah besar bagi sistem peradilan Indonesia."
Di tengah perjalanan teknologi yang pesat, inovasi seperti DigiLarva mengingatkan kita bahwa solusi terbaik seringkali lahir dari perpaduan alam dan teknologi modern. Lalat—makhluk kecil yang biasa dianggap hanya sebagai hama—kini berperan sebagai saksi ilmiah yang diperkuat oleh kecerdasan buatan untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
"Kebenaran sering bersembunyi di tempat-tempat yang kita anggap hina. Lalat yang kita usir setiap hari ternyata membawa pesan keadilan yang tak terbantahkan. Mungkin ini pengingat bahwa dalam pencarian kebenaran, kita harus rendah hati untuk belajar dari segala sumber—bahkan dari makhluk paling sederhana sekalipun."
Arda Dinata, adalah Peneliti dan Tenaga Sanitasi Lingkungan (TSL) Ahli Muda di Loka Labkesmas Pangandaran, Kemenkes RI.
Daftar Pustaka:
Asmara, W., & Hidayat, A. (2024). DigiLarva: Artificial intelligence approach for forensic entomology in tropical regions. Journal of Forensic Sciences, 69(4), 1120-1135.
Direktorat Jenderal Peradilan Umum Mahkamah Agung RI. (2024). Laporan tahunan penggunaan bukti ilmiah dalam persidangan pidana 2020-2023. Jakarta: MA-RI.
Hidayat, A., Rahmah, S., & Prasetya, I. (2023). Development of image-based identification system for forensically important flies in Indonesia. International Journal of Legal Medicine, 137(5), 1856-1872.
INTERPOL. (2024). Innovations in forensic science 2024: Annual report. Lyon: INTERPOL Global Complex for Innovation.
Prasetya, I. (2025). Status entomologi forensik dalam sistem penegakan hukum Indonesia. Jurnal Kriminologi Indonesia, 21(1), 45-59.
Rahmah, S. (2025, Maret 15). Perkembangan entomologi forensik di Indonesia [Seminar daring]. Departemen Biologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.
Rahman, F., & Sulistyo, B. (2025). Analisis dampak implementasi teknologi digital pada proses peradilan kasus kematian tidak wajar di Indonesia. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 14(2), 123-140.
Richards, J. (2025, Februari 10). Global trends in digital forensic entomology [Presentasi konferensi]. International Conference on Forensic Entomology, Geneva, Switzerland.
Tim Riset Kebijakan Publik Universitas Indonesia. (2025). Studi dampak implementasi sistem identifikasi digital spesies lalat terhadap efisiensi investigasi kematian di Indonesia. Depok: LPUI Press.
World Health Organization & INTERPOL. (2025). Global digital forensic entomology standardization project: Preliminary report. Geneva: WHO Press.
***
Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |