Oleh: Arda Dinata
REFERENSI SANITARIAN - "Kita tidak memiliki Planet B. Perilaku konsumsi plastik kita saat ini menempatkan kita pada lintasan yang membahayakan, tetapi dengan inovasi tepat dan niat kolektif, plastik dapat menjadi bagian dari solusi daripada masalah." — Dr. Jenna Jambeck, Profesor Teknik Lingkungan, University of Georgia
Di tengah perumahan padat penduduk Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rustam (47) dengan tekun memilah tumpukan sampah plastik. Botol-botol bekas kemasan air mineral, tutup botol, dan berbagai jenis kemasan plastik lainnya dipisahkan menurut jenisnya. Bagi kebanyakan orang, barang-barang tersebut adalah sampah. Namun bagi Rustam, ini adalah "emas tersembunyi" yang telah menghidupi keluarganya selama hampir dua dekade.
Krisis yang Mengancam Bumi
Produksi plastik global telah melampaui angka 400 juta ton per tahun, dengan Indonesia sendiri menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik pada tahun 2024, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lebih mengkhawatirkan lagi, riset dari Jambeck dkk. (2023) yang dipublikasikan dalam jurnal Science mengungkap bahwa Indonesia berada di peringkat kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, dengan estimasi 1,29 juta ton per tahun.
"Plastik memiliki usia guna rata-rata hanya 20 menit, namun dapat bertahan di alam hingga 450 tahun," jelas Dr. Nani Hendiarti, peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Data dari Program Lingkungan PBB (UNEP) menunjukkan bahwa hanya 9% dari semua sampah plastik yang pernah diproduksi telah didaur ulang, sementara 12% dibakar dan 79% sisanya berakhir di tempat pembuangan sampah atau mencemari lingkungan.
Perjalanan Inovasi Material Berkelanjutan
Sejarah plastik dimulai sebagai solusi berkelanjutan. Pada tahun 1907, Leo Baekeland menciptakan bakelite—plastik sintetis pertama—sebagai pengganti gading gajah untuk bola biliar. Ironisnya, material yang dimaksudkan untuk menyelamatkan gajah ini kini menjadi ancaman bagi kehidupan laut.
Titik balik terjadi pada 2018 ketika peneliti Jepang dari Institut Teknologi Kyoto menemukan bakteri Ideonella sakaiensis yang mampu mengurai PET (polyethylene terephthalate), jenis plastik yang banyak digunakan untuk botol minuman. Penemuan ini membuka horizon baru dalam pengelolaan sampah plastik.
Di Indonesia sendiri, inovasi tidak kalah menarik. Tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung berhasil menciptakan aspal plastik yang memanfaatkan limbah plastik sebagai pengganti sebagian bitumen. "Aspal plastik tidak hanya mengurangi sampah, tetapi juga terbukti 40% lebih tahan terhadap deformasi dan memiliki durabilitas yang lebih tinggi," ungkap Prof. Dr. Tjokorda Nirarta Samadhi, peneliti utama proyek tersebut.
Revolusi Kimia Hijau dan Ekonomi Sirkular
Penelitian terbaru dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada Agustus 2024 mengungkap terobosan dalam depolimerisasi katalitik yang mampu mengubah plastik bekas menjadi bahan baku industri berkualitas tinggi. "Kami telah mengembangkan katalis yang dapat bekerja pada suhu rendah, mengurangi kebutuhan energi hingga 60% dibandingkan metode konvensional," jelas Dr. Rodrigo GarcÃa-Muelas, peneliti utama studi tersebut.
Pendekatan ekonomi sirkular memungkinkan plastik tidak lagi dipandang sebagai limbah, melainkan sebagai sumber daya. Lembaga Ellen MacArthur Foundation memperkirakan potensi ekonomi global dari daur ulang plastik mencapai USD 120 miliar per tahun. Di Indonesia, industri daur ulang plastik telah menyerap lebih dari 900.000 pekerja informal seperti Rustam, menurut data Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI).
Dampak Mikroplastik dan Konsekuensi Kesehatan
Dimensi lain dari krisis plastik yang baru terungkap dalam beberapa tahun terakhir adalah keberadaan mikroplastik—fragmen plastik berukuran kurang dari 5 milimeter. Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Pollution menemukan mikroplastik dalam 80% sampel air minum kemasan di Indonesia.
"Kami telah menemukan mikroplastik dalam darah manusia, dan ini berpotensi mengganggu sistem endokrin serta berdampak pada kesehatan reproduksi," ungkap Dr. Vetria Byanka, peneliti kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia. Studi dari World Health Organization (WHO) tahun 2023 mengindikasikan adanya korelasi antara paparan mikroplastik jangka panjang dengan peningkatan risiko kanker dan gangguan hormon.
Inovasi Material Terbarukan
Antisipasi terhadap bahaya plastik konvensional telah memicu gelombang inovasi material terbarukan. Startup Indonesia Evoware telah mengembangkan kemasan makanan yang dapat dimakan dari rumput laut, sementara Avani Eco memproduksi kantong plastik berbahan singkong yang dapat terurai dalam waktu 180 hari.
"Bioplastik generasi kedua yang kami kembangkan tidak menggunakan bahan pangan sebagai bahan baku, melainkan limbah pertanian seperti sekam padi dan tongkol jagung," jelas Dr. Siti Machmudah dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Inovasi ini menghindari dilema "makanan versus bahan bakar" yang sering dikritik dalam pengembangan bioplastik generasi pertama.
Riset terbaru dari Nature Communications (April 2024) mengungkap potensi alga sebagai bahan baku plastik biodegradable yang mampu terurai sempurna dalam lingkungan laut dalam waktu 12 minggu. Indonesia dengan 17.504 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia memiliki potensi besar untuk pengembangan industri ini.
Regulasi dan Kebijakan Global
Kesadaran global telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan progresif. Uni Eropa telah melarang plastik sekali pakai sejak 2021, sementara 127 negara telah menerapkan berbagai bentuk regulasi kantong plastik.
Indonesia sendiri tidak ketinggalan dengan implementasi Peraturan Presiden No. 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut dan PERPRES No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
"Target ambisius Indonesia untuk mengurangi sampah plastik ke laut hingga 70% pada 2025 memerlukan pendekatan multi-sektor yang melibatkan produsen, konsumen, dan pemerintah," tegas Laksmi Dhewanti, Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut KLHK.
Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas daur hidup produk mereka telah diadopsi dalam UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal pengawasan dan penegakan hukum.
Transformasi Perilaku Kolektif
Perubahan fundamental dalam krisis plastik adalah transformasi pola pikir dan perilaku masyarakat. Gerakan zero waste yang diprakarsai oleh Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) di Bandung telah menginspirasi lebih dari 300 komunitas serupa di seluruh Indonesia.
"Program 'Kantong Plastikku Bawa Pulang' yang kami inisiasi berhasil mengurangi 72% penggunaan kantong plastik di pasar tradisional Cihapit dalam waktu 6 bulan," ungkap Myrna Safitri, koordinator program tersebut.
Aspek pendidikan menjadi kunci dalam transformasi berkelanjutan. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menunjukkan bahwa 15.000 sekolah di Indonesia telah mengadopsi program Adiwiyata dengan komponen pengurangan sampah plastik sebagai salah satu indikator utama.
Teknologi digital turut berperan dalam akselerasi transformasi ini. Aplikasi seperti Rapel dan Octopus yang menghubungkan penghasil sampah dengan pengepul telah mengoptimalkan rantai pasok daur ulang. "Digitalisasi bank sampah meningkatkan efisiensi hingga 40% dan transparansi dalam sistem pengelolaan sampah," jelas Dr. Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik.
Upaya kolaboratif global juga terlihat melalui inisiatif seperti Global Plastic Action Partnership yang diinisiasi World Economic Forum, di mana Indonesia menjadi negara pertama yang bergabung. Kolaborasi pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat sipil telah melahirkan inovasi seperti jalan aspal plastik yang kini telah diimplementasikan di lebih dari 50 ruas jalan di 23 provinsi Indonesia.
Menatap Masa Depan Berkelanjutan
Memasuki era baru pengelolaan plastik, tantangan terbesar adalah memastikan solusi yang komprehensif dan terintegrasi. Indonesia dengan sumber daya alam melimpah dan keanekaragaman hayati unik memiliki peluang untuk menjadi pelopor dalam pengembangan material berkelanjutan.
"Kita membutuhkan transisi sistemik dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular, dengan fokus pada desain produk yang mempertimbangkan daur hidup sepenuhnya," tegas Prof. Dr. Emil Salim, ekonom lingkungan dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia.
Masa depan pengelolaan plastik Indonesia juga bergantung pada kolaborasi regional mengingat sifat transboundari dari polusi plastik laut. ASEAN telah menginisiasi Framework of Action on Marine Debris yang menekankan pentingnya harmonisasi kebijakan dan standar pengelolaan sampah plastik di kawasan.
Kembali ke Kampung Melayu, Rustam kini tidak hanya memilah sampah plastik, tetapi juga menjadi fasilitator bank sampah yang mengolah sampah plastik menjadi produk bernilai ekonomi seperti tas, dompet, dan peralatan rumah tangga. "Sampah plastik telah mengubah hidupku. Dulu memungut sampah dianggap pekerjaan hina, kini kami dipanggil pahlawan lingkungan," ujarnya bangga.
"Setiap keping plastik yang kita selamatkan dari TPA adalah sebongkah warisan untuk generasi mendatang. Kebijaksanaan tertinggi bukan terletak pada menciptakan yang baru, tetapi pada mentransformasi yang sudah ada menjadi sesuatu yang lebih bermakna."
Arda Dinata, adalah Peneliti dan Tenaga Sanitasi Lingkungan (TSL) Ahli Muda di Loka Labkesmas Pangandaran, Kemenkes RI.
Daftar Pustaka
Ellen MacArthur Foundation. (2023). The New Plastics Economy: Rethinking the future of plastics. https://ellenmacarthurfoundation.org/the-new-plastics-economy-rethinking-the-future-of-plastics
Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A., Narayan, R., & Law, K. L. (2023). Plastic waste inputs from land into the ocean. Science, 347(6223), 768-771.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2024). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2024. KLHK.
Mafira, T., Bourque, M., & Leitmann, J. (2023). Radically Reducing Plastic Pollution in Indonesia: A Multistakeholder Action Plan. Global Plastic Action Partnership.
Safitri, M., Wicaksono, A., & Hartoyo, S. (2024). Efektivitas Program Pengurangan Kantong Plastik di Pasar Tradisional: Studi Kasus Pasar Cihapit Bandung. Jurnal Pengelolaan Lingkungan, 18(2), 125-137.
Samadhi, T. N., Pratama, B. I., & Subagjo, S. (2022). Development of bio-based asphalt using plastic waste for sustainable pavement materials. Construction and Building Materials, 315, 125724.
UNEP. (2024). Single-Use Plastics: A Roadmap for Sustainability. United Nations Environment Programme.
World Health Organization. (2023). Microplastics in Drinking-water and Human Health: Current Status and Research Needs. Geneva: WHO Press.
Yoshida, S., Hiraga, K., Takehana, T., Taniguchi, I., Yamaji, H., Maeda, Y., Toyohara, K., Miyamoto, K., Kimura, Y., & Oda, K. (2016). A bacterium that degrades and assimilates poly(ethylene terephthalate). Science, 351(6278), 1196-1199.
***
Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |