"Kesehatan bukan hanya tentang tidak adanya penyakit, tetapi tentang keseimbangan harmonis antara manusia, alam, dan sesama. Dalam mengalahkan 'rajasinga paru,' kita tidak hanya memerlukan obat yang manjur, tetapi juga hati yang peduli dan tangan yang saling menggenggam." (Sumber foto: istimewa).
Oleh: Arda Dinata
REFERENSI SANITARIAN - "Tuberculosis is a social disease with medical aspects, not a medical disease with social aspects." — Rudolf Virchow, 1821-1902
Di sudut kampung tua Karawang, Jawa Barat, masih terdengar sebutan "penyakit rajasinga paru" untuk menyebut tuberkulosis. Istilah yang menggelitik ini bukan sekadar penamaan sembarangan, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana nenek moyang kita memahami penyakit yang telah menemani peradaban manusia selama ribuan tahun.
Mbok Sarni, seorang dukun kampung berusia 75 tahun, masih ingat betul cerita yang diturunkan ibunya tentang "hantu batuk berdarah" yang kerap menghantui keluarga-keluarga miskin di era kolonial. "Dulu orang bilang, kalau ada yang batuk darah terus-menerus, itu tandanya ada raja setan yang bersarang di paru-paru," ujarnya sambil meracik jamu kunir asem untuk tetangganya yang sedang batuk berkepanjangan.
Kepercayaan serupa tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Di Minangkabau, TBC disebut "batua bariah" (batuk berdarah), sementara masyarakat Bugis menyebutnya "ubo' dare'" dengan makna yang sama. Di Bali, penyakit ini dikenal sebagai "batuk getih," dan di tanah Dayak Kalimantan, disebut "batuk pakai darah." Semua penamaan ini mengindikasikan satu gejala utama yang paling menakutkan dari TBC: batuk berdarah yang berkepanjangan.
Tuberkulosis atau TBC sesungguhnya bukanlah penyakit baru. Jejak arkeologis menunjukkan bahwa bakteri Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi manusia sejak 9.000 tahun yang lalu. Di Mesir kuno, mumi-mumi yang berusia 4.000 tahun menunjukkan tanda-tanda kerusakan tulang belakang akibat TBC tulang. Hippocrates, bapak kedokteran dunia, menyebut TBC sebagai "phthisis," yang berarti "konsumsi" atau "pemborosan," karena penyakit ini membuat penderitanya kuru hingga tinggal tulang dan kulit.
Di Nusantara, jejak TBC dapat ditelusuri dari prasasti-prasasti kuno dan naskah-naskah Jawa. Dalam Serat Centhini, karya sastra Jawa abad ke-19, terdapat penyebutan tentang penyakit yang gejalanya mirip TBC, yang disebut sebagai "lara kuru" (penyakit kurus). Masyarakat Jawa kuno percaya bahwa penyakit ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan unsur dalam tubuh atau "sangar"-nya makhluk halus.
Ketika penjajah Belanda masuk ke Indonesia, mereka membawa serta berbagai penyakit, termasuk strain TBC yang lebih ganas. Laporan-laporan medis kolonial menunjukkan bahwa TBC menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di kalangan pribumi. Dr. Willem Bosch, dokter militer Belanda yang bertugas di Hindia Belanda pada 1850-an, mencatat bahwa "penyakit konsumsi sangat merajalela di kalangan penduduk pribumi, terutama mereka yang tinggal di pemukiman padat dan kondisi sanitasi buruk."
Ironisnya, kondisi sosial-ekonomi yang diciptakan sistem kolonial justru menyuburkan penyebaran TBC. Kerja paksa, malnutrisi, dan kondisi hunian yang tidak layak menjadi lahan subur bagi bakteri M. tuberculosis untuk berkembang biak. Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan sejak 1830 memaksa petani bekerja keras tanpa gizi yang cukup, sehingga daya tahan tubuh mereka menurun drastis.
Dari perspektif medis modern, TBC adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyerang terutama paru-paru, namun dapat juga menyerang organ lain seperti tulang, kelenjar getah bening, dan otak. Penularan terjadi melalui droplet atau percikan dahak ketika penderita batuk, bersin, atau berbicara.
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa TBC masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi akibat penyakit menular di dunia. Pada 2022, diperkirakan 10,6 juta orang terinfeksi TBC dan 1,3 juta orang meninggal karenanya. Indonesia menempati urutan kedua dunia dalam hal jumlah kasus TBC, dengan estimasi 969.000 kasus baru pada 2022.
Yang menarik, pola penyebaran TBC di Indonesia masih mengikuti jejak sejarah kolonial. Daerah-daerah yang dulu menjadi pusat eksploitasi ekonomi kolonial, seperti Jawa dan Sumatra, hingga kini masih menunjukkan angka prevalensi TBC yang tinggi. Kemiskinan, kepadatan penduduk, dan kondisi sanitasi yang buruk—warisan struktur sosial kolonial—masih menjadi faktor utama penyebaran TBC.
Dr. Tjandra Yoga Aditama, pakar pulmonologi Indonesia, menjelaskan bahwa TBC bukan sekadar masalah medis, melainkan cerminan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. "TBC adalah penyakit kemiskinan. Di mana ada kemiskinan, di situ TBC berkembang," ujarnya dalam sebuah seminar kesehatan nasional.
Dalam tradisi pengobatan Nusantara, TBC ditangani dengan berbagai ramuan herbal. Masyarakat Jawa menggunakan rebusan daun sirih merah, jahe, dan madu untuk mengurangi batuk berdarah. Di Sumatra, ekstrak daun katuk dipercaya dapat memperkuat paru-paru. Sementara di Sulawesi, masyarakat Bugis menggunakan ramuan kunyit, temulawak, dan madu hutan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Penelitian modern membuktikan bahwa beberapa tanaman tradisional memang memiliki khasiat sebagai imunomodulator dan antimikroba. Kunyit (Curcuma longa) mengandung curcumin yang memiliki sifat anti-inflamasi dan antimikroba. Jahe (Zingiber officinale) mengandung gingerol yang dapat meningkatkan sistem imun. Namun, pengobatan tradisional ini hanya bersifat suportif dan tidak dapat menggantikan terapi antibiotik modern.
Penemuan streptomisin oleh Selman Waksman pada 1943 menjadi titik balik dalam pengobatan TBC. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia memiliki senjata yang efektif melawan "rajasinga paru" ini. Namun, kegembiraan ini tidak berlangsung lama. Bakteri TBC ternyata cepat bermutasi dan mengembangkan resistensi terhadap antibiotik tunggal.
Hal ini mendorong pengembangan terapi kombinasi yang dikenal sebagai DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course). Strategi ini memadukan beberapa jenis antibiotik yang diminum secara teratur selama 6-8 bulan dengan pengawasan ketat. Indonesia mengadopsi strategi DOTS sejak 1995 dan berhasil menurunkan angka kematian TBC secara signifikan.
Namun, tantangan baru muncul dalam bentuk TBC resisten obat (MDR-TB dan XDR-TB). Bakteri TBC yang sudah resisten terhadap obat-obat lini pertama memerlukan pengobatan yang lebih lama, lebih mahal, dan dengan efek samping yang lebih berat. Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 24.000 kasus TBC resisten obat setiap tahunnya.
Dalam konteks budaya, stigma terhadap TBC masih sangat kuat di masyarakat Indonesia. Banyak penderita yang menyembunyikan penyakitnya karena takut dikucilkan. Di beberapa daerah, TBC masih dianggap sebagai "penyakit kutukan" atau "penyakit memalukan." Stigma ini ironisnya justru memperburuk penyebaran penyakit karena penderita enggan berobat dan cenderung menularkan kepada orang lain.
Kampanye edukasi kesehatan harus mempertimbangkan aspek kultural ini. Program "TBC Hilang dari Bumi Cendrawasih" di Papua, misalnya, melibatkan tokoh adat dan pemimpin agama dalam sosialisasi. Pendekatan ini terbukti lebih efektif dibandingkan penyuluhan konvensional yang hanya mengandalkan tenaga medis.
Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya sistem kesehatan yang kuat dalam menghadapi penyakit menular. Ironisnya, pandemi ini juga mengakibatkan penurunan deteksi dan pengobatan TBC karena terfokusnya sumber daya kesehatan untuk menangani COVID-19. WHO memperkirakan bahwa pandemi COVID-19 telah "memundurkan" upaya pemberantasan TBC hingga 5-8 tahun.
Menariknya, ada beberapa kesamaan antara COVID-19 dan TBC dalam hal penularan dan faktor risiko. Keduanya menyebar melalui droplet, sama-sama menyerang sistem pernapasan, dan sama-sama lebih berbahaya bagi kelompok rentan seperti lansia dan penderita komorbid. Pengalaman menangani COVID-19 dengan melibatkan teknologi digital, pelacakan kontak, dan partisipasi masyarakat dapat diadaptasi untuk program pengendalian TBC.
Teknologi modern membuka peluang baru dalam pengendalian TBC. Aplikasi smartphone dapat membantu pasien mengingat jadwal minum obat. Tes diagnostik berbasis molecular seperti GeneXpert dapat mendeteksi TBC dan resistensi obat dalam waktu 2 jam. Bahkan, kecerdasan buatan (AI) sudah mulai diterapkan untuk membaca foto rontgen dada dan mendeteksi TBC secara otomatis.
Namun, teknologi canggih ini harus diiringi dengan pendekatan yang humanistik dan mempertimbangkan konteks sosial-budaya. Program "TBC Mobile" yang dikembangkan di beberapa kabupaten di Indonesia menggabungkan teknologi smartphone dengan pendekatan kultural lokal, seperti melibatkan kader posyandu dan tokoh agama sebagai motivator pengobatan.
Ke depan, eliminasi TBC memerlukan pendekatan yang holistik dan lintas sektor. Tidak cukup hanya dengan memperkuat sistem kesehatan, tetapi juga harus mengatasi akar masalah sosial-ekonomi yang menjadi lahan subur TBC: kemiskinan, malnutrisi, kondisi hunian yang buruk, dan polusi udara.
Target WHO untuk mengakhiri epidemi TBC pada 2030 memerlukan komitmen politik yang kuat, investasi yang berkelanjutan, dan partisipasi aktif masyarakat. Indonesia dengan kekayaan budaya dan kearifan lokalnya memiliki potensi besar untuk menjadi model dalam pengendalian TBC yang efektif dan berkeadilan.
Kisah "rajasinga paru" dalam lintasan sejarah Nusantara mengajarkan kita bahwa penyakit tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya zamannya. Memahami sejarah adalah kunci untuk merancang strategi pengendalian yang tepat sasaran dan berkelanjutan.
Mbok Sarni, dukun kampung dari Karawang itu, mungkin tidak memahami bakteri M. tuberculosis secara mikroskopis. Namun, wisdom lokalnya yang menekankan pentingnya gizi yang baik, lingkungan yang bersih, dan dukungan sosial ternyata sejalan dengan prinsip-prinsip pengendalian TBC modern. Inilah kearifan yang perlu kita jaga dan integrasikan dengan kemajuan sains dan teknologi.
"Kesehatan bukan hanya tentang tidak adanya penyakit, tetapi tentang keseimbangan harmonis antara manusia, alam, dan sesama. Dalam mengalahkan 'rajasinga paru,' kita tidak hanya memerlukan obat yang manjur, tetapi juga hati yang peduli dan tangan yang saling menggenggam."
Arda Dinata, adalah Peneliti dan Tenaga Sanitasi Lingkungan (TSL) Ahli Muda di Loka Labkesmas Pangandaran, Kemenkes RI.
Daftar Pustaka
Aditama, T. Y. (2018). Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Dye, C., Scheele, S., Dolin, P., Pathania, V., & Raviglione, M. C. (1999). Consensus statement. Global burden of tuberculosis: estimated incidence, prevalence, and mortality by country. JAMA, 282(7), 677-686.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2022. Jakarta: Kemenkes RI.
Reid, M. J., Arinaminpathy, N., Bloom, A., Bloom, B. R., Boehme, C., Chaisson, R., ... & Menzies, D. (2019). Building a tuberculosis-free world: The Lancet Commission on tuberculosis. The Lancet, 393(10178), 1331-1384.
World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2023. Geneva: WHO Press.
Zumla, A., Raviglione, M., Hafner, R., & von Reyn, C. F. (2013). Tuberculosis. New England Journal of Medicine, 368(8), 745-755.
***
Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |