Faktor Risiko Penyakit Berbasis Lingkungan Saat Bencana: Panduan Identifikasi dan Pencegahan untuk Masyarakat Indonesia

Baca Juga

"Alam tidak pernah salah, hanya manusia yang terkadang lupa membaca tanda-tandanya. Bencana dan penyakit adalah ujian bagi kebijaksanaan kita dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungan." (Sumber foto: istimewa).

Oleh: Arda Dinata

REFERENSI SANITARIANKetika Alam Murka, Penyakit Datang Bersamanya: Mengurai Jejak Ancaman Kesehatan di Balik Setiap Bencana

Bagaimana mengidentifikasi risiko penyakit akibat kerusakan lingkungan saat bencana? Pahami faktor pemicu dan cara pencegahannya.

Hashtag: #PenyakitBerbasisLingkungan #BencanaKesehatan #KrisisLingkungan #PreventifKesehatan

"Setiap bencana tak hanya meninggalkan puing-puing fisik, tetapi juga membuka pintu bagi ancaman kesehatan yang tak kasat mata. Di balik air yang surut dan tanah yang retak, bersembunyi bibit-bibit penyakit yang siap menyerang."

Malam itu hujan deras mengguyur Kampung Pulo, Jakarta Timur. Air Sungai Ciliwung yang meluap membawa serta sampah, limbah, dan berbagai kotoran ke pemukiman warga. Ketika fajar menyingsing, yang tersisa bukan hanya genangan air keruh, tetapi juga aroma menyengat yang membuat pernapasan sesak.

Siti Aminah, 45 tahun, menatap rumahnya yang terendam dengan mata berkaca-kaca. Bukan hanya soal harta benda yang hanyut. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kondisi kesehatan keluarganya. "Anak-anak sudah mulai batuk-batuk, pak. Air minum juga keruh. Takutnya nanti malah sakit," keluhnya sambil menggendong balitanya yang rewel.

Cerita Siti bukanlah kisah yang asing di Indonesia. Setiap kali bencana melanda, ancaman penyakit berbasis lingkungan selalu mengikuti. Mulai dari diare, demam berdarah, hingga infeksi saluran pernapasan akut. Mereka datang diam-diam, memanfaatkan kondisi lingkungan yang rusak akibat bencana.

Siklus Tak Berujung: Bencana dan Penyakit

Indonesia, negara yang terletak di Cincin Api Pasifik, memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Data United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) menyebutkan, untuk potensi bencana tsunami, Indonesia menempati peringkat pertama dari 265 negara di dunia.

Namun yang sering diabaikan adalah dampak ikutan dari setiap bencana: munculnya berbagai penyakit berbasis lingkungan. Dr. Eliza Kasih, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menjelaskan, "Bencana menciptakan kondisi lingkungan yang ideal bagi berkembang biaknya berbagai patogen. Air tercemar, sanitasi rusak, dan kepadatan pengungsi menjadi faktor pemicu utama."

Pola ini berulang di setiap kejadian bencana. Ketika gempa mengguncang Cianjur tahun 2022, dalam hitungan hari muncul laporan wabah diare di pengungsian. Saat banjir melanda Jakarta awal tahun ini, kasus demam berdarah dan leptospirosis melonjak tajam. Seolah-olah bencana dan penyakit adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Membaca Jejak Ancaman yang Tersembunyi

Mengidentifikasi faktor risiko penyakit berbasis lingkungan saat bencana membutuhkan pemahaman yang komprehensif. Tidak cukup hanya melihat kerusakan fisik yang tampak, tetapi juga memahami perubahan ekosistem yang terjadi.

Air adalah faktor pertama yang harus diamati. Saat bencana terjadi, sistem penyediaan air bersih sering kali terganggu. Sumber air menjadi tercemar oleh limbah, bangkai hewan, atau bahan kimia berbahaya. "Air yang keruh, berbau, atau berubah warna adalah indikator awal kontaminasi," jelas Dr. Rahmat Hidayat, pakar kesehatan lingkungan dari Universitas Hasanuddin.

Faktor kedua adalah sanitasi dan pembuangan limbah. Bencana sering merusak sistem drainase dan toilet umum. Limbah manusia bercampur dengan air bersih, menciptakan kondisi ideal bagi penyebaran penyakit seperti kolera, tifus, dan hepatitis A.

Vektor penyakit juga menjadi perhatian khusus. Genangan air pasca banjir menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti. Tumpukan sampah dan bangkai hewan menarik lalat dan tikus sebagai pembawa penyakit.

Peta Risiko yang Kompleks

Setiap jenis bencana memiliki karakteristik risiko kesehatan yang berbeda. Gempa bumi, misalnya, dapat merusak infrastruktur air bersih dan menimbulkan debu yang berbahaya bagi saluran pernapasan. Tsunami tidak hanya membawa air laut yang mengandung bakteri, tetapi juga mencampur air tawar dengan air asin yang tidak layak konsumsi.

Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia. Yang menarik, bencana akibat ulah manusia seringkali menimbulkan risiko kesehatan yang lebih kompleks. Kebocoran pabrik kimia, kebakaran hutan akibat pembukaan lahan, atau pencemaran sungai akibat limbah industri menciptakan ancaman kesehatan jangka panjang.

Perubahan iklim juga menambah kompleksitas masalah. Praktik manusia yang merusak lingkungan, seperti penggundulan hutan dan perburuan, mendorong lonjakan penyakit menular baru. COVID-19 adalah contoh nyata bagaimana kerusakan ekosistem dapat memicu pandemi global.

Membaca Sinyal dari Lingkungan

Kemampuan membaca "bahasa" lingkungan menjadi kunci dalam mengidentifikasi risiko. Ada beberapa indikator yang harus diamati secara cermat.

Kualitas udara adalah parameter pertama. Debu, asap, atau bau menyengat menandakan adanya kontaminasi yang dapat memicu penyakit pernapasan. Perubahan warna tanah atau air menunjukkan adanya pencemaran kimia. Munculnya hewan-hewan tertentu seperti tikus atau lalat dalam jumlah besar mengindikasikan adanya sumber penyakit.

Kondisi sosial-ekonomi masyarakat juga berpengaruh. Daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, kepadatan penduduk tinggi, dan akses kesehatan terbatas memiliki risiko lebih besar mengalami wabah penyakit pasca bencana.

"Kita harus belajar menjadi detektif lingkungan," kata Prof. Budi Haryanto dari Universitas Indonesia. "Setiap perubahan di sekitar kita adalah petunjuk. Yang penting adalah kepekaan untuk membaca tanda-tanda tersebut."

Teknologi sebagai Mata dan Telinga

Era digital memberikan peluang baru dalam mengidentifikasi risiko penyakit berbasis lingkungan. Aplikasi pemantauan kualitas air, sensor udara portabel, dan sistem peringatan dini berbasis satelit mulai dikembangkan.

Di beberapa daerah, warga sudah mulai menggunakan aplikasi smartphone untuk melaporkan kondisi lingkungan yang mencurigakan. Data crowdsourcing ini kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi pola risiko di suatu wilayah.

Namun teknologi tidak akan berarti tanpa literasi masyarakat. "Yang terpenting adalah pendidikan," tegas Dr. Sari Kusuma dari Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan. "Masyarakat harus tahu apa yang harus diamati dan bagaimana cara melaporkannya."

Ketika Pencegahan Lebih Baik dari Pengobatan

Pengalaman pahit berulang kali mengajarkan bahwa pencegahan jauh lebih efektif dibanding pengobatan. Sistem peringatan dini yang baik dapat menyelamatkan ribuan nyawa dan menghemat triliunan rupiah biaya kesehatan.

Beberapa daerah mulai mengembangkan protokol "siaga kesehatan lingkungan" yang terintegrasi dengan sistem penanggulangan bencana. Tim respons cepat dilatih untuk mengidentifikasi risiko kesehatan dalam 24 jam pertama pasca bencana.

Partisipasi masyarakat menjadi kunci sukses. Kader kesehatan di tingkat RT/RW dilatih untuk menjadi "sensor" pertama dalam mendeteksi perubahan kondisi lingkungan. Mereka dilengkapi dengan peralatan sederhana untuk tes kualitas air dan udara.

Memperkuat Garda Terdepan

Puskesmas dan rumah sakit daerah menjadi garda terdepan dalam menghadapi ancaman penyakit berbasis lingkungan. Mereka harus memiliki protokol khusus untuk menangani lonjakan kasus pasca bencana.

"Kami sudah mulai menyiapkan obat-obatan khusus untuk penyakit yang biasa muncul setelah banjir," kata dr. Maya Sari, kepala Puskesmas Kelapa Gading, Jakarta Utara. "Tim medis juga dilatih untuk mengenali gejala-gejala penyakit berbasis lingkungan."

Koordinasi lintas sektor menjadi tantangan tersendiri. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Kementerian Kesehatan harus bekerja sinergis dalam memberikan peringatan dini.

Pembelajaran dari Pandemi Global

Pandemi COVID-19 yang pernah kita alami bersama merupakan satu dari sekian banyak bencana yang masuk dalam krisis kesehatan. Pengalaman menangani pandemi memberikan banyak pelajaran berharga tentang pentingnya kesiapsiagaan menghadapi ancaman kesehatan.

Sistem surveilans yang kuat, komunikasi risiko yang efektif, dan keterlibatan masyarakat terbukti menjadi faktor penentu keberhasilan. Konsep "One Health" yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan mulai diterapkan dalam penanggulangan bencana.

Membangun Ketahanan Bersama

Menghadapi ancaman penyakit berbasis lingkungan tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga masyarakat di tingkat grassroot.

Investasi dalam infrastruktur kesehatan lingkungan menjadi prioritas. Sistem penyediaan air bersih yang tahan bencana, fasilitas sanitasi yang memadai, dan sistem pengelolaan limbah yang modern harus menjadi standar di seluruh Indonesia.

Pendidikan masyarakat tidak kalah pentingnya. Program literasi kesehatan lingkungan harus dimulai sejak dini, dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Masyarakat harus tahu bagaimana cara mengidentifikasi risiko dan apa yang harus dilakukan saat menghadapi ancaman.

Harapan di Tengah Tantangan

Meski tantangan besar menghadang, bukan berarti kita pasrah pada nasib. Indonesia memiliki modal sosial yang kuat dalam menghadapi bencana. Tradisi gotong royong, solidaritas antarwarga, dan kemampuan adaptasi yang tinggi menjadi kekuatan yang tak ternilai.

Beberapa daerah mulai menunjukkan kemajuan signifikan. Kota Semarang dengan sistem peringatan dini banjirnya, Yogyakarta dengan program kampung siaga bencana, dan Bali dengan sistem pengelolaan limbah pariwisata ramah lingkungan menjadi contoh baik yang patut diteladani.

Teknologi juga memberikan harapan baru. Artificial intelligence untuk prediksi penyebaran penyakit, Internet of Things untuk monitoring kualitas lingkungan real-time, dan big data analytics untuk pemetaan risiko membuka peluang revolusioner dalam penanggulangan bencana kesehatan.

Refleksi untuk Masa Depan

Setiap bencana adalah ujian bagi ketahanan bangsa. Bukan hanya infrastruktur fisik yang diuji, tetapi juga sistem kesehatan, solidaritas sosial, dan kemampuan beradaptasi. Yang terpenting adalah pembelajaran dari setiap kejadian untuk membangun sistem yang lebih kuat.

Anak-anak Indonesia hari ini adalah generasi yang akan menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin kompleks. Mereka harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi ancaman kesehatan berbasis lingkungan.

Kembali ke Kampung Pulo, tiga bulan setelah banjir besar, kondisi mulai membaik. Siti Aminah dan keluarganya selamat dari ancaman penyakit berkat intervensi cepat tim kesehatan. Namun pengalaman pahit itu mengajarkan pelajaran berharga: kewaspadaan adalah harga yang harus dibayar untuk keselamatan.

"Alam tidak pernah salah, hanya manusia yang terkadang lupa membaca tanda-tandanya. Bencana dan penyakit adalah ujian bagi kebijaksanaan kita dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungan."

Wallahu a'lam...


Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2024). Definisi bencana. Retrieved from https://bnpb.go.id/definisi-bencana

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Badung. (2024). Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia dan penyebabnya. Retrieved from https://dislhk.badungkab.go.id/artikel/18289-kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-penyebabnya

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2021). Pandemi COVID-19: Menjaga dan menyelamatkan lingkungan hidup. Retrieved from https://www.kemenkopmk.go.id/pandemi-covid-19-menjaga-dan-menyelamatkan-lingkungan-hidup

Kompas. (2021, January 14). Krisis lingkungan dan bencana pandemi. Retrieved from https://www.kompas.id/baca/opini/2021/01/14/krisis-lingkungan-dan-bencana-pandemi/

Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan. (2021). Waspadai penyakit berbasis lingkungan. Retrieved from https://pusatkrisis.kemkes.go.id/waspadai-penyakit-berbasis-lingkungan

Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan. (2021). Dampak kerusakan alam bagi kehidupan. Retrieved from https://pusatkrisis.kemkes.go.id/dampak-kerusakan-alam-bagi-kehidupan

Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan. (2022). Mengenal cakupan penanggulangan krisis kesehatan. Retrieved from https://pusatkrisis.kemkes.go.id/mengenal-cakupan-penanggulangan-krisis-kesehatan

***

Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata

Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Jangan Lupa Tulis Komentar Anda dan Usulan Tema Artikel Yang Anda Inginkan di Kolom Komentar di Bawah Ini Ya! 👇

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak

.