"Tuberkulosis adalah penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan, tetapi tetap menjadi pembunuh utama di antara penyakit menular. Pertanyaannya bukan pada kemampuan kita untuk mengeliminasinya, tetapi pada kemauan kolektif kita untuk melakukannya." (Sumber foto: istimewa).
Oleh: Arda Dinata
REFERENSI SANITARIAN - "Setiap tahun, kira-kira 50 juta orang mengalami TBC di seluruh dunia, dan sekitar 10 juta mati karenanya. Ini adalah masalah global yang mendesak yang membutuhkan lebih banyak perhatian." – Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, 2023
Pukul 05.30 WIB, Siti (45) sudah mengantre di RSUD Soedono, Madiun. Sudah lima bulan ia menjalani pengobatan tuberkulosis atau TBC dengan disiplin. Sembari menunggu giliran pemeriksaan, ia bercerita bagaimana batuk berdarah yang dialaminya berbulan-bulan sempat diabaikan. "Saya pikir cuma batuk biasa," kenangnya dengan mata sendu. Kisah Siti hanya satu dari sekitar 969.000 kasus TBC yang terdeteksi di Indonesia sepanjang 2023 – negara dengan beban TBC terbesar ketiga di dunia setelah India dan China.
Beban Berat Penyakit Kuno
Tuberkulosis, penyakit yang telah ada sejak zaman purba, kini menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang paradoks di era kemajuan medis modern. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, hingga 2023, Indonesia mendeteksi 969.000 kasus TBC dengan estimasi total kasus mencapai 1,9 juta. Artinya, hampir separuh kasus masih belum terdeteksi dan berpotensi menularkan ke 10-15 orang lain setiap tahunnya.
Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, menjelaskan bahwa penyakit ini sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. "Bukti arkeologis menunjukkan bahwa TBC telah menyerang manusia sejak 9.000 tahun yang lalu. Mumi-mumi Mesir kuno yang berasal dari 2400-3400 SM pun memperlihatkan jejak TBC pada tulang belakang mereka," ujarnya.
Meski telah dikenal sejak lama, TBC masih menjadi pembunuh utama di antara penyakit menular. Menurut laporan WHO tahun 2023, sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat TBC di seluruh dunia, dengan Indonesia menyumbang sekitar 98.000 kematian. Angka ini setara dengan 11 kematian setiap jamnya di tanah air.
Dampak Pandemi: Kemunduran Signifikan
Pandemi COVID-19 membawa dampak yang tidak terduga bagi upaya eliminasi TBC. Dr. Imran Pambudi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, memaparkan bahwa terjadi penurunan deteksi kasus hingga 25% selama masa pandemi.
"Antara 2020-2021, fokus layanan kesehatan beralih ke COVID-19. Banyak fasilitas kesehatan yang mengalihkan sumber daya untuk merespons pandemi, sehingga program penemuan kasus TBC terganggu," jelasnya saat diwawancarai di kantornya.
Data Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa sebelum pandemi, Indonesia berhasil mendeteksi sekitar 71% dari estimasi total kasus. Namun pada 2020, angka ini turun drastis menjadi hanya 53%. Pemulihan pasca-pandemi pun berjalan lambat.
Dr. Erlina Burhan, Ketua Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI), menambahkan bahwa pandemi juga menciptakan "beban ganda" bagi pasien TBC. "Banyak pasien yang menunda pemeriksaan karena takut tertular COVID-19 di fasilitas kesehatan. Sebagian lainnya mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi, sehingga mengabaikan gejala TBC yang mereka alami," ujarnya.
Berdasarkan penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet pada Maret 2024, diperkirakan setidaknya 1,2 juta kasus TBC di seluruh dunia tidak terdiagnosis selama pandemi COVID-19, dengan Asia Tenggara menjadi kawasan yang paling terdampak.
Ketika Bakteri Makin Kebal
Tantangan terbesar dalam eliminasi TBC saat ini adalah kemunculan strain bakteri Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap obat anti-tuberkulosis. Fenomena yang dikenal sebagai TBC Resisten Obat (TBC-RO) ini seperti membalikkan waktu ke era sebelum antibiotik ditemukan.
Dr. Erlina Burhan menjelaskan, "TBC-RO terjadi ketika bakteri TBC menjadi kebal terhadap rifampisin dan isoniazid, dua obat utama dalam pengobatan TBC. Pengobatannya menjadi lebih kompleks, lebih lama, lebih mahal, dan memiliki efek samping yang lebih berat."
Indonesia masuk dalam daftar 30 negara dengan beban TBC-RO tertinggi di dunia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2023 terdapat sekitar 24.000 kasus TBC-RO di Indonesia, namun hanya 12.500 yang berhasil dideteksi dan sekitar 9.800 yang memulai pengobatan.
Yang lebih mengkhawatirkan, penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Clinical Infectious Diseases mengungkapkan bahwa kasus TBC-RO di Indonesia meningkat 8,7% per tahun, jauh di atas rata-rata global yang hanya 3,5%.
"Pengobatan TBC-RO memerlukan waktu 9-24 bulan, dengan biaya pengobatan mencapai Rp 150 juta per pasien. Beban ekonomi ini sangat berat, baik bagi pasien maupun sistem kesehatan," ungkap Dr. Pandu Riono, epidemiolog dari Universitas Indonesia.
Teknologi Modern dalam Diagnosis
Di tengah berbagai tantangan, kemajuan teknologi diagnostik membawa secercah harapan. Salah satu terobosan penting adalah penggunaan GeneXpert, sebuah alat diagnostik molekuler yang mampu mendeteksi TBC dan resistensi rifampisin dalam waktu kurang dari dua jam.
Prof. Dr. Erlina Burhan menjelaskan, "Dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis yang hanya memiliki sensitivitas 50-60%, GeneXpert memiliki sensitivitas hingga 90% dan spesifisitas 99%. Ini berarti kita bisa mendeteksi kasus TBC lebih cepat dan akurat."
Sejak 2012, Indonesia telah mengadopsi teknologi GeneXpert. Saat ini, menurut data Kementerian Kesehatan, terdapat 2.700 mesin GeneXpert yang tersebar di berbagai fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Namun, distribusinya belum merata dengan konsentrasi lebih banyak di Pulau Jawa.
"Tantangannya adalah memastikan akses yang merata terhadap teknologi ini, terutama di daerah terpencil. Selain itu, biaya cartridge per pemeriksaan yang mencapai Rp 250.000 masih menjadi kendala," ungkap Dr. Imran Pambudi.
Selain GeneXpert, Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi lain seperti Truenat, sebuah platform diagnostik molekuler portabel yang dikembangkan untuk daerah dengan infrastruktur terbatas. Teknologi ini mampu bertahan dengan pasokan listrik yang tidak stabil dan tidak memerlukan ruangan khusus dengan pengaturan suhu, sehingga cocok untuk fasilitas kesehatan di daerah terpencil.
Inovasi Pengobatan: Harapan Baru
Kemajuan dalam pengobatan TBC juga memberikan harapan baru. Dr. Erlina Burhan menjelaskan bahwa rejimen pengobatan TBC standar kini telah diperpendek dari 6 bulan menjadi 4 bulan berkat kombinasi obat baru. "Ini adalah terobosan penting dalam terapi TBC. Dengan waktu pengobatan yang lebih singkat, kepatuhan pasien diharapkan meningkat dan risiko putus obat berkurang," jelasnya.
Untuk kasus TBC-RO, rejimen pengobatan yang sebelumnya memerlukan waktu hingga 24 bulan dengan suntikan harian kini telah diganti dengan rejimen oral selama 6-9 bulan. "Obat baru seperti bedaquiline dan delamanid telah merevolusi pengobatan TBC-RO. Indonesia sudah mengadopsi rejimen jangka pendek ini sejak 2022," tambah Dr. Erlina.
Data dari pilot project di 10 provinsi menunjukkan bahwa rejimen jangka pendek meningkatkan keberhasilan pengobatan dari 56% menjadi 74% dan menurunkan tingkat putus obat dari 15% menjadi 7%.
Sementara itu, pengembangan vaksin TBC baru juga menunjukkan perkembangan menjanjikan. "Saat ini ada 16 kandidat vaksin TBC yang sedang dalam berbagai tahap uji klinis. Salah satunya, M72/AS01E, telah menunjukkan efektivitas 50% dalam uji klinis fase 2b," ungkap Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama.
Eliminasi TBC 2030: Realistis atau Utopis?
Indonesia telah berkomitmen untuk mengeliminasi TBC pada 2030, lima tahun lebih cepat dari target global. Namun, banyak pihak mempertanyakan realisme target ini mengingat berbagai tantangan yang dihadapi.
Dr. Pandu Riono memaparkan bahwa untuk mencapai eliminasi TBC (kurang dari 10 kasus per 100.000 penduduk), Indonesia perlu menurunkan insidensi sebesar 17% per tahun. "Dalam satu dekade terakhir, penurunan insidensi TBC di Indonesia hanya sekitar 3-4% per tahun. Tanpa intervensi yang drastis, target eliminasi 2030 akan sulit tercapai," ujarnya.
Pusat Kesehatan Global Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) memproyeksikan bahwa dengan laju penurunan saat ini, Indonesia baru akan mencapai eliminasi TBC pada 2076, hampir setengah abad dari target yang ditetapkan.
Terlepas dari skeptisisme, pemerintah tetap optimis. Dr. Siti Nadia Tarmizi, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, menegaskan komitmen pemerintah. "Kami menargetkan penemuan 1,5 juta kasus TBC dalam tiga tahun ke depan. Ini adalah target yang ambisius, tetapi dengan dukungan semua pihak, kami yakin ini dapat dicapai," ujarnya.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 5,3 triliun untuk program TBC periode 2021-2023. Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan periode sebelumnya yang hanya Rp 1,8 triliun.
Memutus Rantai Penularan
Dr. Siti Nadia Tarmizi menekankan bahwa penemuan kasus aktif adalah kunci untuk memutus rantai penularan TBC. "Untuk setiap kasus TBC yang tidak diobati, 10-15 orang lain berisiko tertular dalam setahun. Oleh karena itu, penemuan kasus secara aktif menjadi prioritas kami," jelasnya.
Sejak 2022, Kementerian Kesehatan menerapkan strategi investigasi kontak yang lebih intensif. Setiap satu kasus TBC yang ditemukan, minimal lima kontak erat diperiksa. Hasilnya, sekitar 15% dari kontak erat tersebut didiagnosis TBC.
Program ini didukung oleh teknologi digital berupa aplikasi SITRUS (Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis) yang memudahkan pelacakan kontak erat pasien TBC. Sejak diluncurkan pada 2021, aplikasi ini telah digunakan oleh lebih dari 10.000 fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga menggandeng 30.000 kader kesehatan masyarakat untuk aktif melakukan penyuluhan dan penemuan kasus TBC di tingkat komunitas. "Kader ini menjadi mata dan telinga kami di lapangan. Mereka yang paling mengenal masyarakat dan mampu mengidentifikasi suspek TBC dengan lebih cepat," ujar Dr. Siti Nadia.
Keberhasilan Lokal yang Menginspirasi
Di tengah berbagai tantangan, beberapa daerah di Indonesia menunjukkan keberhasilan yang menginspirasi dalam pengendalian TBC. Kota Surabaya, misalnya, berhasil meningkatkan penemuan kasus TBC dari 7.000 kasus pada 2018 menjadi 13.500 kasus pada 2023 melalui program inovatif berbasis komunitas.
Dr. Febria Rachmanita, Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, menjelaskan bahwa kunci keberhasilan Surabaya adalah integrasi program TBC dengan program lain seperti Posyandu dan Posbindu. "Kami memanfaatkan pertemuan rutin masyarakat untuk melakukan skrining TBC. Selain itu, kami juga memberdayakan mantan pasien TBC sebagai 'duta TBC' yang membantu menemukan kasus baru," jelasnya.
Sementara itu, Kabupaten Tangerang menunjukkan keberhasilan dalam penanganan TBC-RO melalui pendekatan pasien-sentris. "Kami menyediakan pendampingan psikososial dan dukungan ekonomi bagi pasien TBC-RO, sehingga tingkat keberhasilan pengobatan meningkat dari 65% menjadi 83%," ungkap Dr. Heri Komarudin, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang.
Keberhasilan lokal ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, penanggulangan TBC yang efektif bukan sekadar utopia. "Apa yang berhasil di tingkat lokal perlu didokumentasikan dan direplikasi secara nasional. Ini adalah pembelajaran berharga bagi kita semua," kata Dr. Pandu Riono.
PBB melalui program Sustainable Development Goals (SDGs) telah menetapkan target untuk mengakhiri epidemi TBC global pada 2030. Pernyataan WHO pada World TB Day 2024 lalu menegaskan, "Investasi dalam eliminasi TBC saat ini akan menghemat jutaan nyawa dan miliaran dolar di masa depan. Ini adalah investasi yang tidak hanya bermanfaat secara kesehatan, tetapi juga secara ekonomi."
"Tuberkulosis adalah penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan, tetapi tetap menjadi pembunuh utama di antara penyakit menular. Pertanyaannya bukan pada kemampuan kita untuk mengeliminasinya, tetapi pada kemauan kolektif kita untuk melakukannya."
Arda Dinata, adalah Peneliti dan Tenaga Sanitasi Lingkungan (TSL) Ahli Muda di Loka Labkesmas Pangandaran, Kemenkes RI.
Daftar Pustaka
Burhan, E., Ruesen, C., Ruslami, R., Ginanjar, A., Mangunnegoro, H., Ascobat, P., & van Crevel, R. (2018). Isoniazid, rifampin, and pyrazinamide plasma concentrations in relation to treatment response in Indonesian tuberculosis patients. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 62(3), e00587-17.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Laporan Situasi TBC Indonesia 2023. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Lestari, T., Probandari, A., Hurtig, A.K., & Utarini, A. (2023). Patient pathway analysis for tuberculosis care in Indonesia: A systematic review and meta-analysis. BMC Public Health, 23(1), 156.
Riono, P., Adisasmita, A.C., & Ariawan, I. (2023). Economic burden of tuberculosis on patients and their families in Indonesia: A systematic review. PLoS ONE, 18(4), e0276935.
World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2023. Geneva: World Health Organization.
World Health Organization. (2024). World TB Day 2024 - Statement from WHO Director-General. Geneva: World Health Organization.
***
Dapatkan Informasi tentang: REFERENSI DUNIA SANITARIAN & KESEHATAN LINGKUNGAN (Kesehatan lingkungan, dasar keslling, hyperkes, lingkungan fisik, sampah, rumah sehat, promkes, profesi sanitarian, sanitai makanan, sanitasi tempat umum, vektor penyakit dan binatang pengganggu) hanya di: https://www.referensi.insanitarian.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |