Baca Juga
Ketika Udara Menjadi Racun: Refleksi Spiritual di Balik Kabut Polusi Jakarta - Penyakit ISPA Meningkat 4 Kali Lipat. (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
REFERENSI - Polusi udara Jakarta memicu peningkatan ISPA hingga 200 ribu kasus/bulan. Bagaimana kita menemukan makna spiritual di tengah krisis lingkungan?
Hashtag: #PolusiJakarta #UdaraBersih #KesehatanMasyarakat #RefleksiSpiritual
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan hari terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal." - QS. Ali Imran: 190
Pagi itu, Sari mengintip dari balik tirai apartemennya di kawasan Senayan. Langit Jakarta tertutup kabut keabu-abuan yang tak kunjung sirna. Anak perempuannya, Zahra, berusia lima tahun, kembali batuk-batuk sejak semalam.
"Mama, kenapa langitnya abu-abu terus? Kapan bisa main di taman lagi?" tanya Zahra dengan polos. Sari terdiam, hatinya mencelos. Bagaimana menjelaskan pada anak kecil bahwa udara yang mereka hirup setiap hari telah berubah menjadi racun?
Angka yang Mengerikan di Balik Kabut
Kasus ISPA di Jakarta melonjak menjadi 200.000 kasus akibat polusi udara, empat kali lipat dari masa pandemi yang hanya mencapai 50.000 kasus. Angka ini bukan sekadar statistik dingin—di baliknya ada jutaan cerita seperti keluarga Sari yang terjebak dalam lingkaran setan polusi dan penyakit.
Dr. Ahmad Syahrir, ahli paru dari RS Persahabatan, menatap hasil rontgen pasien-pasiennya dengan wajah prihatin. "Setiap hari saya melihat paru-paru yang semakin hitam. Bukan hanya pada perokok, tapi juga anak-anak dan ibu rumah tangga yang tidak pernah merokok seumur hidup," ungkapnya.
Jakarta bahkan pernah mencatatkan indeks kualitas udara tertinggi di dunia dengan skor 177 pada Agustus 2024, masuk kategori "tidak sehat". Konsentrasi PM2.5 mencapai 9,1 kali nilai panduan WHO—angka yang melampaui batas wajar kemanusiaan.
Ketika Napas Menjadi Perjuangan
Setiap pagi, jutaan warga Jakarta memulai hari dengan ritual yang sama: menghirup udara beracun. Partikel-partikel halus PM2.5 dan PM10 menembus masker, menyusup ke paru-paru, mengendap dalam alveoli yang seharusnya menjadi gerbang kehidupan.
Menteri Kesehatan mengungkap bahwa polusi udara berkontribusi pada PPOK (37%), pneumonia (32%), asma (28%), dan kanker paru (13%). Angka-angka ini bukan sekadar data medis, tetapi cerminan dari kehancuran sistem yang lebih besar.
Ibu Ratna, seorang pedagang di Tanah Abang, menceritakan bagaimana ia harus menutup dagangan lebih cepat karena sesak napas. "Dulu saya bisa jualan dari pagi sampai malam. Sekarang jam 3 sore udah mulai susah bernapas. Tapi mau gimana lagi, ini satu-satunya cara cari makan," ujarnya sambil memegang dada.
Refleksi di Tengah Krisis
Ada ironi mendalam dalam situasi ini. Jakarta, kota metropolitan yang menjadi pusat perekonomian Indonesia, justru memakan penduduknya sendiri—perlahan tapi pasti. Setiap gedung pencakar langit yang berdiri, setiap kendaraan yang melaju di jalanan, berkontribusi pada kabut beracun yang mengancam generasi masa depan.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan tren kasus ISPA di Indonesia mencapai 1,5-1,8 juta kasus secara nasional dari Januari hingga September 2023. Angka yang mengkhawatirkan ini memaksa kita bertanya: apakah pembangunan yang kita banggakan selama ini benar-benar membawa kemakmuran, atau justru kemunduran peradaban?
Prof. Dr. Hayu Prabowo, pakar lingkungan dari Universitas Indonesia, mengajukan pertanyaan filosofis: "Apa gunanya ekonomi tumbuh pesat jika rakyatnya sakit-sakitan? Apa makna kemajuan teknologi jika kualitas hidup menurun drastis?"
Jejak Kerusakan yang Tak Terlihat
Polusi udara bukan hanya soal kesehatan fisik. Ada dimensi psikologis dan spiritual yang terabaikan. Anak-anak Jakarta kehilangan haknya untuk menghirup udara bersih, bermain di bawah langit biru, merasakan kesegaran pagi tanpa takut tersengal-sengal.
Zahra, anak Sari, kini tumbuh dengan pemahaman bahwa langit abu-abu adalah normal. Generasi ini menerima polusi sebagai bagian dari kehidupan—sebuah tragedy of normalization yang mengerikan.
Dr. Sarah Amalia, psikolog anak, menjelaskan dampak psikologis yang jarang dibahas: "Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan tercemar mengalami stres kronis. Mereka kehilangan koneksi dengan alam, yang sangat penting untuk perkembangan mental dan spiritual."
Pelajaran dari Pandemi yang Terlupakan
Hasil monitoring menunjukkan penurunan konsentrasi polutan sebesar 43-75% selama periode tertentu, mengingatkan kita bahwa perubahan itu mungkin. Saat pandemi COVID-19 memaksa dunia berhenti, langit Jakarta sempat kembali biru, udara kembali bersih.
"Subhanallah, waktu itu saya bisa lihat gunung dari rumah. Padahal sudah 20 tahun tinggal di sini, baru kali itu bisa lihat gunung," kenang Pak Joko, sopir TransJakarta yang sudah mengabdi 15 tahun di jalanan ibukota.
Momentum itu seharusnya menjadi titik balik kesadaran kolektif. Tapi begitu aktivitas kembali normal, polusi pun kembali mencekik. Kita seperti melupakan pelajaran berharga yang diberikan alam semesta.
Mencari Solusi dalam Kearifan
Solusi polusi udara tidak bisa hanya mengandalkan teknologi atau regulasi pemerintah. Dibutuhkan transformasi kesadaran yang mendalam—dari cara pandang materialistik menuju perspektif holistik yang memahami keterkaitan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Ustadz Abdullah Gymnastiar, dalam salah satu ceramahnya, pernah berkata: "Kerusakan lingkungan adalah cerminan dari kerusakan hati manusia. Ketika hati kita bersih, niscaya lingkungan pun akan bersih."
Harapan di Balik Kabut
Meski situasinya mengkhawatirkan, bukan berarti tidak ada harapan. Berbagai inisiatif mulai bermunculan: program bike-to-work, pengembangan transportasi ramah lingkungan, kampanye penghijauan kota, dan yang terpenting—kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh.
Sari, ibu yang ceritanya membuka tulisan ini, kini aktif dalam komunitas lingkungan di kompleks apartemennya. "Saya tidak ingin Zahra tumbuh besar dalam dunia yang rusak. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri, dari keluarga, dari lingkungan terdekat," tekadnya.
Setiap tetes hujan yang membasahi Jakarta adalah pengingat bahwa alam masih memberi kesempatan. Setiap hembusan angin adalah undangan untuk bernapas lega sejenak. Setiap fajar yang menyingsing adalah harapan bahwa hari esok bisa lebih baik.
Panggilan Untuk Bertindak
Polusi udara Jakarta bukan hanya masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan filter udara atau masker N95. Ini adalah panggilan spiritual untuk kembali kepada fitrah sebagai khalifah di muka bumi—pengelola yang bertanggung jawab, bukan perusak yang rakus.
Ketika kita memilih naik transportasi umum daripada mobil pribadi, ketika kita menanam pohon di halaman rumah, ketika kita mengajarkan anak-anak mencintai alam—saat itulah kita melakukan ibadah dalam bentuknya yang paling murni.
"Dan tidak ada kehidupan dunia ini melainkan sebagai kesenangan yang menipu." - QS. Ali Imran: 185
Barangkali polusi udara Jakarta adalah peringatan agar kita tidak terlena dengan gemerlap kehidupan duniawi yang semu. Saatnya kembali kepada keseimbangan, kepada harmoni dengan alam, kepada jalan yang diridhoi-Nya.
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. (2025). Kualitas udara Jakarta selama Lebaran 2025 lebih bersih dari tahun sebelumnya. https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/article/post-382
Greenpeace Indonesia. (2024). Laporan kualitas udara dunia IQAir 2023: Indonesia terburuk se-Asia Tenggara. https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers-2/58036/laporan-kualitas-udara-dunia-iqair-2023-indonesia-terburuk-se-asia-tenggara/
Kementerian Kesehatan RI. (2024). Polusi ancam saluran pernapasan. Sehat Negeriku. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog/20240108/5644635/polusi-ancam-saluran-pernapasan/
Kompas. (2023). Menkes ungkap penyakit akibat polusi udara: PPOK, pneumonia, asma, dan ISPA. https://nasional.kompas.com/read/2023/08/30/12565091/menkes-ungkap-penyakit-akibat-polusi-udara-ppok-pneumonia-asma-dan-ispa
UGM One Health Center of Excellence. (2024). Polusi Jakarta peringkat 1 di dunia, bagaimana dampaknya pada kesehatan? https://ohce.wg.ugm.ac.id/polusi-jakarta-peringkat-1-di-dunia-bagaimana-dampaknya-pada-kesehatan/
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.